2 Mei 2012

4. Islamisasi Kerajaan Makassar











Sebelum kedatangan para pedagang Eropa pada abad XVI, jalur-jalur perdagangan di Nusantara dikuasai oleh para pedagang muslim. Karena itu, hampir dapat dipastikan bahwa para perantau dari Makassar akan bertemu dan melakukan hubungan dagang dengan para pedagang muslim tersebut. Interaksi sosial antara mereka dan para pedagang muslim di perantauan, memungkinkan mereka untuk mengenal Islam, bahkan, diduga sudah ada yang menjadi muslim sebelum Islam diterima secara resmi oleh kerajaan. Asumsi ini didukung oleh kenyataan bahwa di Maluku telah berdiri perkampungan masyarakat Makassar. Bersamaan dengan itu, di Ternate telah berdiri sebuah kerajaan Islam. Perkampungan masyarakat Makassar tersebut dimungkinkan karena hubungan baik antara kerajaan Ternate dan Kerajaan Makassar pada abad XVI. Hubungan ini, tidak terbatas pada hubungan perdagangan belaka tetapi juga hubungan politik. Berdasarkan sumber Ternate, pada tahun 1580, Sultan Ternate, Baabullah, melakukan kunjungan kerajaan ke ibukota Kerajaan Makassar, Somba Opu. Dalam kunjungannya itu, ia berhasil melakukan perjanjian politik antara dua kerajaan. Sultan Baabullah menyerahkan Pulau Selayar kepada Raja Makassar, Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tonijallo, yang sebelumnya dibawah vasal kerajaan Ternate.1 Dalam perjalan pulang, Sultan singgah di beberapa tempat di Sulawesi, seperti di Selayar dan Sulawesi Tengah, dan pada perjalanan ini pula Sultan memanfaatkan kesempatan itu untuk menyebarkan agama Islam.2

Kedatangan Islam di Sulawesi Selatan agaknya terlambat jika dibandingkan daerah-daerah lainnya di Indonesia, seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Maluku. Hal ini di sebabkan Kerajaan Makassar barulah dikenal sebagai kerajaan yang berpengaruh dan menjadi kerajaan dagang pada akhir abad XVI atau awal abad XVII. Dalam kurun waktu tersebut para pedagang muslim dari berbagai daerah Nusantara dan para pedagang asing Eropa mulai ramai mendatangi daerah ini.3 Menurut teori yang dikembangkan oleh Noorduyn, proses Islamisasi di Sulawesi Selatan tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, yaitu melalui tiga tahap: kedatangan Islam, penerimaan Islam dan penyebarannya lebih lanjut.4 Dalam Lontara Makassar yaitu Pattorioloanga ri Togowaya (Sejarah Makassar), dalam lontara tersebut terdapat keterangan bahwa pada masa pemerintahan Raja Gowa X (1546-1565), bernama I Mariogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tonipalangga Ulaweng, telah datang seorang utusan orang-orang Melayu, Datuk Anakkoda Bonang, menghadap kepadanya agar diberi hak atas sebuah kawasan perkampungan di Makassar. Selain itu, orang-orang Melayu tersebut mendapat perlindungan istimewa dari kerajaan untuk menempati daerah sekitar pelabuhan Somba Opu di kampung Mangallekana. Yang dimaksud dengan “orang Jawa”, dalam lontara tersebut adalah orang-orang Melayu dari Pahang, Patani, Campa, Minangkabau dan Johor.5

Hubungan baik antara pendatang Melayu dengan penduduk setempat, menyebabkan mereka mendapatkan tempat istimewa dihati raja. Tidak mengherankan, jika Raja Gowa berikutnya, yaitu Tonijallo (1565-1590) memberikan fasilitas tempat ibadah, sebuah masjid, di tempat pemukiman mereka di Mangallekana. (Masjid Mangallekana ini merupakan masjid pertama yang dikenal dalam sejarah Sulawesi Selatan. Masjid tersebut sudah hancur, menyusul penghancuran Benteng Somba Opu sebagai akibat kekalahan Makassar dalam Perang Makassar antara Sultan Hasanuddin dan VOC. Lokasi masjid itu sekarang sudah terkikis oleh aliran sungai Jeneberang).6 Pemberian fasilitas masjid menandakan bahwa raja memberikan perhatian kepada para pedagang muslim. Di pihak lain, para pedagang muslim berusaha memelihara hubungan baik itu dengan kerajaan yang dapat dilihat dari kontribusi yang diberikan oleh para pedagang Melayu terhadap pembinaan kerajaan. Sejak awal kedatangan mereka, yaitu di masa pemerintahan Raja Gowa X, Tonipalangga, seorang keturunan Melayu bernama I Daeng ri Mangallekana diangkat sebagai syahbandar yang kedua pada Kerajaan Gowa. Sejak saat itu secara turun-temurun jabatan syahbandar dipegang oleh orang Melayu sampai pada masa Ince Husein sebagai syahbandar terakhir. Dia mengakhiri jabatannya pada tahun 1669, ketika Kerajaan Makassar mengalami kekalahan melawan VOC.7

Penerimaan Islam di Kerajaan Makassar, menurut para penulis sejarah Islam Sulawesi Selatan, memperlihatkan bahwa Islam diterima lebih dulu oleh elite kerajaan, yaitu Raja Gowa dan Raja Tallo, setelah itu diikuti masyarakat ramai.8 Menurut teori berlaku umum bahwa penyebaran Islam di Indonesia pada awalnya melalui perdagangan, demikianlah halnya dengan kedatangan Islam di Makassar tidak terlepas dari faktor dagang. Islamisasi melalui perdagangan dapat dilihat pada daerah yang pertama kali disinggahi oleh para penyebar Islam pertama, yaitu daerah-daerah yang didatangi adalah daerah-daerah yang dilewati jalur perdagangan. Para penyebar Islam pun pada masa awal perkembangannya adalah terdiri atas para pedagang. Penyebaran Islam yang dilakukan oleh para pedagang dimungkinkan karena didalam ajaran Islam tidak dibedakan antara tugas keagamaan seorang muslim, sebagai penyebar nilai-nilai kebenaran dan profesinya sebagai pedagang. Setiap muslim, apapun profesinya dituntut untuk menyampaikan ajaran Islam kepada orang lain. Dalam sebuah hadist, Nabi mengemukakan: “Sampaikanlah (apa yang kau ketahui) dari saya, walaupun satu ayat”.9

Kedatangan tiga mubalig, dimulai dengan masuknya seorang raja setempat pada masa itu, sebagaimana yang terjadi pada agama Katolik. Agaknya inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong para pedagang Melayu mengundang tiga orang mubalig dari Koto Tangah Minangkabau agar datang ke Makassar mengislamkan elite Kerajaan Makassar. Motivasi lain yang mendorong para saudagar Melayu dalam mengambil keputusan mendatang mubalig ke Makassar adalah untuk mengimbangi misi Katolik. Para misionaris telah berusaha menyebarkan pengaruhnya ke dalam Istana Kerajaan Makassar. Persaingan misionaris Katolik dan para pedagang muslim telah lama berlangsung, sebagaimana yang diakui oleh Antonio de Payva, seorang misionarir Katolik yang berkunjung ke Sulawesi Selatan pada tahun 1542.10 Inisiatif untuk mendatang mubalig khusus ke Makassar, sudah ada sejak Anakkoda Bonang berada di Makassar pada pertengahan abad XVI, tetapi nanti berhasil setelah memasuki awal abad XVII dengan kehadiran tiga orang datuk dari Minangkabau.11 Kehadiran tiga datuk yang dilatarbelakangi persaingan antara misionaris dan para pedagang muslim.12 Lontara Wajo menyebutkan bahwa ketiga datuk itu datang pada permulaan abad XVII dari Koto Tangah, Minangkabau. Mereka dikenal dengan nama Datuk Tellue (Bugis) atau Datuk Tallua (Makassar), yaitu: Abdul Makmur atau Khatib Tunggal yang lebih populer dengan nama Datuk ri Bandang, Sulaiman atau Khatib Sulung yang lebih populer dengan nama Datuk Patimang, yang terakhir Abdul Jawad atau Khatib Bungsu yang lebih populer dengan nama Datuk ri Tiro.13
Graaf dan Pigeaud mengemukakan bahwa Datuk ri Bandang sebelum ke Makassar lebih dulu belajar di Giri. Datuk ri Bandang dan teman lain, ketika tiba di Makassar, tidak langsung melaksanakan misinya, tetapi lebih dulu menyusun strategi dakwah. Mereka menanyakan kepada orang-orang Melayu yang sudah lama bermukim di Makassar tentang Raja yang paling dihormati. Setelah mendapat penjelasan, mereka berangkat ke Luwu' untuk menemui Datuk Luwu', La Patiware Daeng Parabu. Datuk Luwu adalah Raja yang paling dihormati, karena kerajaannya dianggap kerajaan tertua dan tempat asal nenek moyang Raja-raja Sulawesi Selatan. Kedatangan Datuk Tellue mendapat sambutan hangat dari Datuk Luwu', La Patiware Daeng Parabu.14

1 Christian Pelras, Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South Sulawesi, dalam Archipel, No. 29, 1985, hlm. 112.
2 Abd. Razak Patunru, Sedjarah Gowa, Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulselra, 1969, hlm.16.
3 Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 80.
4 J. Noorduyn, De Islamisering van Makassar, dalam BKI, No. 112, 1956, hlm. 248.
5 Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 84.
6 J. Noorduyn, De Islamisering van Makassar, dalam BKI, No. 112, 1956, hlm. 249.
7 Mukhlis, Orang Melayu, Satu Kajian Sejarah Sosial Indonesia Timur, Makalah Seminar Antarbangsa di Darussalam, Brunei, 13-14 November
1994, hlm.2.
8 Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 86.
9 Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 87-88.
10 Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 88.
11 Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 89.
12 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII DAN XVIII, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 32.
13 Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 90.
14 Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 91

Tidak ada komentar: