10 Mei 2012

Contoh Surat Pengajuan Beasiswa ke Universitas Yordania



الرقم : 2011/11/25
الموضوع : طلب منح الدّراسة المرحلة الجامعيّة في الكلّيّة اللغات الأجنبيّة
الجامعة الأردنيّة
إلى السّعادة عميد الكلّيّة اللغات الأجنبيّة الجامعة الأردنيّة الأستاذ رولا ا
لقواس - حفظه الله -
بعمّان
السّلام عليكم و رحمة الله و بركاته
يسرني في هذه الفرصة الثمينة, أنا المذكور أعلاه/
الاسم: Eli Setyowati
الطّالب : طالبة جامعة إندونيسيا قسم اللّغة العربيّة
أهنّئكم تهنئة عالية ورفيعة إلى السّعادة  عميد الكلّيّة اللغات الأجنبيّة الجامعة الأردنيّة الذي  بادر في تجهيز شباب اجيال الوطن نحو التّقدم. لسعادة إذ حصل الطالب على فرصة يشرب أبحار العلوم في الأردنيّة. تمنيت أن أكون من المحظوظين بعد أن أرى إشراق الشمس. جاهدت وحاولت نحو الهدف لغة وأكاديميا, فالآن أنا في الثّالثة فصول الدّراسة في قسم اللغة العربيّة جامعة إندونيسيا، أرغب مواصلة دراستي مرحلة الجامعيّة في تخصص علم اللغة ببلدكم الموقرة.
ولكن الرياح لا تجرى بما  تشتهي السفن. بين الرغبة والفرصة كما السماء والأرض. الإمكانيات الماليّة بمثابة أبعد الأردنيّة من دولتي. فيا كرما إذ سعادة العميد أعطى المنح كي أتمكن من الدّارسة في الأردنيّة.
و الله في عون العبد مادام العبد في عون أخيه.
جاكرتا, 25 نوفمبر 2011
مقدم الطالبة
Eli Setyowati

7 Mei 2012

Asal-Usul Suku Kurdi



Asal-Usul Kurdi Pra-Islam di Iran
oleh Eli Setyowati, 1006698742

Judul: “The Origins and Appearance of the Kurds in Pre-Islamic Iran”
Pengarang: John Limbert
Data Publikasi: Journal of Iranian Studies, Vol. 1, No. 2, 1968.



Siapa yang tak kenal dengan Suku Kurdi? Suku ini terkenal dengan ketragisannya dalam memperjuangkan cita-citanya yaitu, memerdekakan Kurdistan, tak lain dan tak bukan adalah wilyaah yang ditempati oleh Suku Kurdi sejak pra Islam. Wilayahnya saat ini terbagi ke dalam beberapa negara yaitu, Turki, Iran, Irak, Suriah serta sebagian kecil Azerbaijan dan Armenia.

Lebih jauh tentang Kurdi, asal usulnya hingga kini masih dalam perdebatan. Dalam tulisannya, John Limbert memaparkan asal-usul Suku Kurdi berdasarkan data linguistik dan historis. Berdasarkan data linguistik, kata "Kurdi" banyak muncul di literatur-literatur Barat maupun Arab dan Persia. Dalam literatur Persia, kata "Kurdi" muncul dalam Sassaniyah epik Karnamak-e Ardashir-e Papakan. Kemudian pada abad ke-7, kata "Kurdi" muncul dikalangan orang Arab dengan jamaknya yaitu, akrad. Lalu beberapa ahli mengatakan bahwa kata "Kurdi" berasal dari kata Guti, yang mengacu pada orang-orang yang disebutkan dalam prasasti Sumeria pada abad ke- 24 sebelum masehi. Kemudian, muncul kata Kar-da-ka (atau Qar-da-ka) dalam prasasti Sumeria sekitar abad ke- 20 sebelum masehi. Ada pula, filsuf Yunani yaitu, Xenophon menggunakan kata Kardukhoi, untuk masyarakat yang tinggal di tempat, yang kini mengacu pada Kurdistan bagian Irak pada tahun 401 sebelum masehi. Masih menurut Xenophon, huruf kh pada kata Kardukhoi adalah tambahan huruf untuk bentuk jamak dalam bahasa Armenia dari kata Kardu. Lain lagi menurut Polybius dan Livy, menurut mereka, Kurdi berasal dari kata Kyrtiae. Kyrtiae adalah tentara bayaran untuk memerangi musuh Roma yaitu, Seleukus Anthiokus III pada tahun 190 sebelum masehi dan Eumenes pada tahun 170 sebelum masehi. Lain halnya dengan Strabo, ia menyebutkan Kyrtiae di suku Media Atropatane (Azerbaijan) dan di Persia. Strabo juga menggunakan Corduene atau Gordiaea untuk daerah yang kini berada di Kurdistan bagian Turki. Dari kesemuanya itu, menurut beberapa ahli, kata yang mendekati kata "Kurdi" adalah Kardu. Kardu sendiri mempunyai tiga acuan yaitu, pertama dari akar Semit QRD yang berarti berani atau kuat, kedua kata Kardu mengacu pada kata Kart'veli yang merupakan nama asli orang Georgia, dan yang ketiga mengacu pada kata Gord dalam bahasa Persia yang berarti pahlawan. Namun diantara para ahli ini mengatakan bahwa kata Kardu dalam bahasa Arab dan Persia saat ini berarti pengembara, tanpa konotasi etnis tertentu. Selanjutnya mengenai bahasa Kurdi, masih dalam tulisan John Limbert, disebutkan bahwa bahasa Kurdi mirip dengan bahasa Suku Media yaitu, suku yang mendiami wilayah Iran Utara. Kemudian dalam data historisnya, Suku Kurdi muncul pada pra Islam di Iran yaitu dalam Dinasti Sassaniyah. Dikatakan bahwa Dinasti Sassaniyah (Persia) didirikan oleh Ardashir I, dengan nasabnya Ardashir I bin Papakan bin Sassan. Nenek dari Ardashir I atau istri dari Sassan yaitu, Ram Behesht ternyata merupakan orang Kurdi, yang termasuk dalam Suku Kurdi Banzanjan. Jika kita lihat dari data historis ini, maka kita bisa menyimpulkan bahwa orang-orang keturunan Ardashir I (atau Sassan) yang mengaku sebagai orang Persia, tidak bisa dikatakan Ras Persia 100%, karena darah Persia dan Kurdi Banzanjan telah tercampur, begitu pula sebaliknya.

Dari penjelasan data linguistik dan historis yang telah dipaparkan diatas dan kesimpulan dari John Limbert dalam tulisannya "The Origins and Appearance of the Kurds in Pre-Islamic Iran", memberikan kesimpulan bahwa Suku Kurdi terbentuk dari penggabungan antara orang-orang di Iran Barat Laut yang bermigrasi ke timur Pegunungan Zagros, lalu berakulturasi dengan penduduk Pegunungan Zagros dan memberlakukan bahasa kesatuan mereka. Kemudian, bahasa dan letak geografis bukanlah dasar untuk membuat perbedaan antara Suku Kurdi dan Suku Media. Dan yang terakhir adalah para sejarawan Islam menyebutkan bahwa Suku Kurdi yang tinggal di Selatan dan Barat Daya Persia, kemungkinan bukan Suku Kurdi, melainkan suku-suku pengembara yang berbicara dalam bahasa Iran bagian Barat Daya.

2 Mei 2012

4. Islamisasi Kerajaan Makassar











Sebelum kedatangan para pedagang Eropa pada abad XVI, jalur-jalur perdagangan di Nusantara dikuasai oleh para pedagang muslim. Karena itu, hampir dapat dipastikan bahwa para perantau dari Makassar akan bertemu dan melakukan hubungan dagang dengan para pedagang muslim tersebut. Interaksi sosial antara mereka dan para pedagang muslim di perantauan, memungkinkan mereka untuk mengenal Islam, bahkan, diduga sudah ada yang menjadi muslim sebelum Islam diterima secara resmi oleh kerajaan. Asumsi ini didukung oleh kenyataan bahwa di Maluku telah berdiri perkampungan masyarakat Makassar. Bersamaan dengan itu, di Ternate telah berdiri sebuah kerajaan Islam. Perkampungan masyarakat Makassar tersebut dimungkinkan karena hubungan baik antara kerajaan Ternate dan Kerajaan Makassar pada abad XVI. Hubungan ini, tidak terbatas pada hubungan perdagangan belaka tetapi juga hubungan politik. Berdasarkan sumber Ternate, pada tahun 1580, Sultan Ternate, Baabullah, melakukan kunjungan kerajaan ke ibukota Kerajaan Makassar, Somba Opu. Dalam kunjungannya itu, ia berhasil melakukan perjanjian politik antara dua kerajaan. Sultan Baabullah menyerahkan Pulau Selayar kepada Raja Makassar, Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tonijallo, yang sebelumnya dibawah vasal kerajaan Ternate.1 Dalam perjalan pulang, Sultan singgah di beberapa tempat di Sulawesi, seperti di Selayar dan Sulawesi Tengah, dan pada perjalanan ini pula Sultan memanfaatkan kesempatan itu untuk menyebarkan agama Islam.2

Kedatangan Islam di Sulawesi Selatan agaknya terlambat jika dibandingkan daerah-daerah lainnya di Indonesia, seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Maluku. Hal ini di sebabkan Kerajaan Makassar barulah dikenal sebagai kerajaan yang berpengaruh dan menjadi kerajaan dagang pada akhir abad XVI atau awal abad XVII. Dalam kurun waktu tersebut para pedagang muslim dari berbagai daerah Nusantara dan para pedagang asing Eropa mulai ramai mendatangi daerah ini.3 Menurut teori yang dikembangkan oleh Noorduyn, proses Islamisasi di Sulawesi Selatan tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, yaitu melalui tiga tahap: kedatangan Islam, penerimaan Islam dan penyebarannya lebih lanjut.4 Dalam Lontara Makassar yaitu Pattorioloanga ri Togowaya (Sejarah Makassar), dalam lontara tersebut terdapat keterangan bahwa pada masa pemerintahan Raja Gowa X (1546-1565), bernama I Mariogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tonipalangga Ulaweng, telah datang seorang utusan orang-orang Melayu, Datuk Anakkoda Bonang, menghadap kepadanya agar diberi hak atas sebuah kawasan perkampungan di Makassar. Selain itu, orang-orang Melayu tersebut mendapat perlindungan istimewa dari kerajaan untuk menempati daerah sekitar pelabuhan Somba Opu di kampung Mangallekana. Yang dimaksud dengan “orang Jawa”, dalam lontara tersebut adalah orang-orang Melayu dari Pahang, Patani, Campa, Minangkabau dan Johor.5

Hubungan baik antara pendatang Melayu dengan penduduk setempat, menyebabkan mereka mendapatkan tempat istimewa dihati raja. Tidak mengherankan, jika Raja Gowa berikutnya, yaitu Tonijallo (1565-1590) memberikan fasilitas tempat ibadah, sebuah masjid, di tempat pemukiman mereka di Mangallekana. (Masjid Mangallekana ini merupakan masjid pertama yang dikenal dalam sejarah Sulawesi Selatan. Masjid tersebut sudah hancur, menyusul penghancuran Benteng Somba Opu sebagai akibat kekalahan Makassar dalam Perang Makassar antara Sultan Hasanuddin dan VOC. Lokasi masjid itu sekarang sudah terkikis oleh aliran sungai Jeneberang).6 Pemberian fasilitas masjid menandakan bahwa raja memberikan perhatian kepada para pedagang muslim. Di pihak lain, para pedagang muslim berusaha memelihara hubungan baik itu dengan kerajaan yang dapat dilihat dari kontribusi yang diberikan oleh para pedagang Melayu terhadap pembinaan kerajaan. Sejak awal kedatangan mereka, yaitu di masa pemerintahan Raja Gowa X, Tonipalangga, seorang keturunan Melayu bernama I Daeng ri Mangallekana diangkat sebagai syahbandar yang kedua pada Kerajaan Gowa. Sejak saat itu secara turun-temurun jabatan syahbandar dipegang oleh orang Melayu sampai pada masa Ince Husein sebagai syahbandar terakhir. Dia mengakhiri jabatannya pada tahun 1669, ketika Kerajaan Makassar mengalami kekalahan melawan VOC.7

Penerimaan Islam di Kerajaan Makassar, menurut para penulis sejarah Islam Sulawesi Selatan, memperlihatkan bahwa Islam diterima lebih dulu oleh elite kerajaan, yaitu Raja Gowa dan Raja Tallo, setelah itu diikuti masyarakat ramai.8 Menurut teori berlaku umum bahwa penyebaran Islam di Indonesia pada awalnya melalui perdagangan, demikianlah halnya dengan kedatangan Islam di Makassar tidak terlepas dari faktor dagang. Islamisasi melalui perdagangan dapat dilihat pada daerah yang pertama kali disinggahi oleh para penyebar Islam pertama, yaitu daerah-daerah yang didatangi adalah daerah-daerah yang dilewati jalur perdagangan. Para penyebar Islam pun pada masa awal perkembangannya adalah terdiri atas para pedagang. Penyebaran Islam yang dilakukan oleh para pedagang dimungkinkan karena didalam ajaran Islam tidak dibedakan antara tugas keagamaan seorang muslim, sebagai penyebar nilai-nilai kebenaran dan profesinya sebagai pedagang. Setiap muslim, apapun profesinya dituntut untuk menyampaikan ajaran Islam kepada orang lain. Dalam sebuah hadist, Nabi mengemukakan: “Sampaikanlah (apa yang kau ketahui) dari saya, walaupun satu ayat”.9

Kedatangan tiga mubalig, dimulai dengan masuknya seorang raja setempat pada masa itu, sebagaimana yang terjadi pada agama Katolik. Agaknya inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong para pedagang Melayu mengundang tiga orang mubalig dari Koto Tangah Minangkabau agar datang ke Makassar mengislamkan elite Kerajaan Makassar. Motivasi lain yang mendorong para saudagar Melayu dalam mengambil keputusan mendatang mubalig ke Makassar adalah untuk mengimbangi misi Katolik. Para misionaris telah berusaha menyebarkan pengaruhnya ke dalam Istana Kerajaan Makassar. Persaingan misionaris Katolik dan para pedagang muslim telah lama berlangsung, sebagaimana yang diakui oleh Antonio de Payva, seorang misionarir Katolik yang berkunjung ke Sulawesi Selatan pada tahun 1542.10 Inisiatif untuk mendatang mubalig khusus ke Makassar, sudah ada sejak Anakkoda Bonang berada di Makassar pada pertengahan abad XVI, tetapi nanti berhasil setelah memasuki awal abad XVII dengan kehadiran tiga orang datuk dari Minangkabau.11 Kehadiran tiga datuk yang dilatarbelakangi persaingan antara misionaris dan para pedagang muslim.12 Lontara Wajo menyebutkan bahwa ketiga datuk itu datang pada permulaan abad XVII dari Koto Tangah, Minangkabau. Mereka dikenal dengan nama Datuk Tellue (Bugis) atau Datuk Tallua (Makassar), yaitu: Abdul Makmur atau Khatib Tunggal yang lebih populer dengan nama Datuk ri Bandang, Sulaiman atau Khatib Sulung yang lebih populer dengan nama Datuk Patimang, yang terakhir Abdul Jawad atau Khatib Bungsu yang lebih populer dengan nama Datuk ri Tiro.13
Graaf dan Pigeaud mengemukakan bahwa Datuk ri Bandang sebelum ke Makassar lebih dulu belajar di Giri. Datuk ri Bandang dan teman lain, ketika tiba di Makassar, tidak langsung melaksanakan misinya, tetapi lebih dulu menyusun strategi dakwah. Mereka menanyakan kepada orang-orang Melayu yang sudah lama bermukim di Makassar tentang Raja yang paling dihormati. Setelah mendapat penjelasan, mereka berangkat ke Luwu' untuk menemui Datuk Luwu', La Patiware Daeng Parabu. Datuk Luwu adalah Raja yang paling dihormati, karena kerajaannya dianggap kerajaan tertua dan tempat asal nenek moyang Raja-raja Sulawesi Selatan. Kedatangan Datuk Tellue mendapat sambutan hangat dari Datuk Luwu', La Patiware Daeng Parabu.14

1 Christian Pelras, Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South Sulawesi, dalam Archipel, No. 29, 1985, hlm. 112.
2 Abd. Razak Patunru, Sedjarah Gowa, Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulselra, 1969, hlm.16.
3 Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 80.
4 J. Noorduyn, De Islamisering van Makassar, dalam BKI, No. 112, 1956, hlm. 248.
5 Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 84.
6 J. Noorduyn, De Islamisering van Makassar, dalam BKI, No. 112, 1956, hlm. 249.
7 Mukhlis, Orang Melayu, Satu Kajian Sejarah Sosial Indonesia Timur, Makalah Seminar Antarbangsa di Darussalam, Brunei, 13-14 November
1994, hlm.2.
8 Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 86.
9 Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 87-88.
10 Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 88.
11 Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 89.
12 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII DAN XVIII, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 32.
13 Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 90.
14 Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 91

3. Raja-Raja Kerajaan Makassar











Tumanurung adalah raja pertama dalam silsilah Kerajaan Gowa. Ia dinobatkan sebagai raja berdasarkan kesepakatan antara Tumanurung di satu pihak dan Paccallaya bersama dengan Kasuwiyang Salapang dipihak lain. Kasuwiyang Salapang sebagai raja-raja negeri bersepakat untuk menyerahkan kekuasaan kepada Tumanurung sebagai raja. Sebaliknya, Kasuwiyang Salapang akan dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan, seperti masalah perang dan damai. Pelantikan Tumanurung sebagai raja diperkirakan terjadi pada abad XIV. Tidak diketahui secara pasti tentang lamanya Tumanurung berkuasa. Lontara Makassar (sumber sejarah) menyebutkan bahwa ia digantikan oleh putranya bernama Tomassalangga Barayang.1 Menurut mitos masyarakat Gowa, Tumanurung adalah seorang putri yang turun dari kayangan disebuah tempat bernama Takak Bassia. Ia datang secara luar biasa tanpa diketahui nama dan tempat asalnya, sehingga disebut saja Tumanurung (orang yang turun dari langit). Tumanurung kawin dengan Karaeng Bajo yang juga seorang pendatang aneh yang tidak diketahui asal daerahnya. Hanya dikatakan ia datang dari arah selatan bersama seorang temannya yang bernama Lakipadada.2

Raja Gowa VI, Tonatangka Lopi, memerintah dari tahun 1445 sampai 1460. Pada akhir pemerintahannya, ada pembagian wilayah Kerajaan Gowa terhadap dua orang putranya, yaitu Batara Gowa dan Karaeng Loe ri Sero. Batara Gowa melanjutkan kekuasaan di Gowa sebagai Raja Gowa VII, pengganti Tonatangka Lopi yang meninggal dunia. Wilayah Kekuasaannya meliputi: Paccelekang, Pattalasang, Bontomanai Ilau, Bontomanai ‘iraya, Tombolo dan Mangasa. Sedang adiknya, Karaeng Loe ri Sero, mendirikan kerajaan baru yang bernama Kerajaan Tallo dengan wilayah sebagai berikut: Saumata, Pannampu, Moncong Loe dan Parang Loe.3

Raja Gowa X, I Mariogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tonipalangga Ulaweng memerintah 1546-1565. Pada masa pemerintahannya kedua kerajaan kembar, Gowa dan Tallo kembali menjadi satu kerajaan, yang sekarang lebih dikenal dengan kerajaan Makassar. Raja Tallo sekaligus menjabat sebagai mangkubumi Kerajaan Makassar. Mangkubumi saat itu adalah Nappakata'tana Daeng Padulung.4 Raja Makassar periode 1593 sampai 1639 adalah I Mangarangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin. Beliaulah yang mula-mula memeluk Agama Islam di Sulawesi Selatan bertepatan pada malam Jumat tanggal 22 September 1605 atau 9 Jumadil-awal 1014 (H). Adapun yang meng-islamkan kedua raja tersebut dan penduduk Kerajaan Gowa-Tallo adalah Abdul Makmur atau Khatib Tunggal yang lebih populer dengan nama Datuk ri Bandang yang berasal dari Minangkabau Sumatra Barat yang tiba di Tallo (Makassar) pada bulan September 1605. Pada hari Jumat, tanggal 9 November 1607 diadakanlah sembahyang Jumat pertama di Mesjid Tallo dan dinyatakan penduduk Kerajaan Makassar telah memeluk Agama Islam dan sebagai agama resmi, bersamaan pula diadakan sembahyang Jumat di Masjid Mangallekana di Somba Opu.5

Pada masa beliau, dibangun pula Benteng Panakukang yang terletak antara Somba Opu dengan Barombong. Pada masa sultan pertama ini, Makassar mengalahkan sebagian besar negeri-negeri Pulau Sulawesi, kepulauan Timor, dan sebagian Kalimantan.6 Pada masa pemerintahannya, kerajaan menjalin persahabatan dengan raja Aceh dan Mataram, negeri Bulukumba, Bisulu, Sindereng, Lamuru, Soppeng, Wajo, sebagian Tempe, Bulu’, Cenrana, Wawonio, Bilokka, Lemo, Pekkalabbu, Cempaga dan lain-lain. Kemudian Makassar juga mengalahkan Bima, Dompu, Sumbawa, Kekelu, Sanggara, Buton, Pancana, Tubungku, Banggai, Buol, Gorontalo, Larompong, Selaparang (Lombok), Pasere (Kalimantan Selatan), Kutai dan lainnya. Pada masa pemerintahannya pula, sedang berlangsung persaingan antara Kerajaan Makassar dan Tellunpoccoe (aliansi Kerajaan Wajo, Soppeng dan Bone) untuk menguasai hegemoni politik dikawasan Sulawesi Selatan.7

Selanjutnya, Raja Makassar periode 1653-1669 adalah I Malombassi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin Tomenanga ri Ballapangkana, yang diangkat sebagai pahlawan nasional, karena keberaniannya menentang penjajah. Beliau dilahirkan pada 12 Juni 1631 dan wafat 12 Juni 1670. Pada pemerintahannya, antara tahun 1655 sampai 1669 terjadi peperangan antara Kerajaan Makassar dengan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Benteng Ujung Pandang direbut oleh VOC pada hari Selasa, tanggal 18 Nopember 1667, dengan kekalahan tersebut, dibuatlah Perjanjian Bongaya (Het Bongaisch Verdrag) antara Kerajaan Makassar dengan VOC, kemudian Benteng Ujung Pandang diganti namanya oleh Admiral Cornelis Janszoon Speelman menjadi Port Rotterdam dan kemudian ditempati oleh Belanda sebagai pusat pemerintahan militer dan sipil.8



1 Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 21.
2 Abu Hamid, Syekh Yusuf Makassar:Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994, hlm. 30-31.
3 Harun Kadir, Sejarah Daerah Sulawesi Selatan, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978, hlm. 27.
4 Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 22.
5 J. Noorduyn, De Islamisering van Makassar, dalam BKI, No. 112, 1956, hlm. 249.
6 Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 29.
7 Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 113.
8 Abu Hamid, Syekh Yusuf Makassar:Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994, hlm. 213.