2 Nov 2015

Mereka Cari Jalan, Bukan Cari Uang!




Duduk di depan saya dua perempuan muda. Mereka sarjana hukum lulusan  UI. Wajah dan penampilannya dari kelas menengah, yang kalau dilihat dari  luar punya kesempatan untuk “cepat kaya”, asal saja mereka mau bekerja  di firma hukum papan atas yang sedang makmur, seperti impian sebagian  kelas menengah yang memanjakan anak-anaknya.

Namun, keduanya memilih bergabung dalam satgas pemberantasan illegal fishing yang dipimpin aktivis senior Mas Achmad Santosa. Dari foto-foto yang ditayangkan presenter Najwa Shihab dalam program Mata Najwa,  tampak mereka tengah menumpang sekoci kecil mendatangi kapal-kapal  pencuri ikan. Dari Ambon, mereka menuju ke Tual, Benjina, dan  pusat-pusat penangkapan ikan lainnya di Arafura.

Itu baru  permulaan. Sebab, pencurian besar-besaran baru akan terjadi dua sampai  tiga bulan ke depan. Mereka, para pencuri itu, datang dengan kapal yang  lebih besar, bahkan mungkin dengan “tukang pukul” yang siap mendorong  mereka ke laut menjadi mangsa ikan-ikan ganas.

Uang atau meaning?
Di  luar sana, anak-anak muda lainnya setengah mati mencari kerja, ikut  seleksi menjadi calon PNS, pegawai bank, konsultan IT, guru, dosen, dan  seterusnya.

Seperti kebanyakan kaum muda lainnya, mereka semua  didesak keluarga agar cepat mendapat pekerjaan, membantu keuangan  keluarga, dan menikah pada waktunya. Cepat lulus dan dapat pekerjaan  yang penghasilannya bagus.

Tak sedikit di antara mereka yang  beruntung bertemu orang-orang hebat, dari perusahaan terkemuka,  mendapatkan pelatihan di luar negeri, atau penempatan di kota-kota besar  dunia.

Namun, semua itu akan berubah. Sebab, atasan yang  menyenangkan tak selamanya duduk di sana. Kursi Anda bisa berpindah ke  tangan orang lain. Kaum muda akan terus berdatangan dan ilmu-ilmu baru  terus berkembang. Bulan madu karier pun akan berakhir. Mereka akan  tampak tua di mata kaum muda yang belakangan hadir.

Sebagian dari mereka juga ada yang menjadi wirausaha. Tidak sedikit yang tersihir oleh  kode-kode yang dikirim sejumlah orang tentang jurus-jurus cara cepat  menjadi kaya raya. Bisa saja mereka berhasil meraih banyak hal begitu  cepat. Namun, benarkah mereka berhasil selama-lamanya?

Pengalaman  saya menemukan, orang-orang yang dulu begitu getol mencari uang kini  justru tak mendapatkan uang. Pada usia menjelang pensiun, semakin banyak  orang yang datang mengunjungi teman-teman lama sekadar untuk  mendapatkan pinjaman. Sebagian lagi hanya bisa sharing senandung duka.

Kontrak  rumah dan uang kuliah anak yang belum dibayar, pasangan yang pergi  meninggalkan keluarga, dan serangan penyakit bertubi-tubi. Padahal, dulu  mereka begitu getol mengejar gaji besar, berpindah-pindah kerja demi  kenaikan pendapatan.

Saya ingin memberi tahu Anda nasihat yang  pernah disampaikan  oleh Co-Founder Apple, Guy Kawasaki. Kepada kaum  muda, ia pernah mengatakan begini:

“Kejarlah meaning. Jangan kejar karier demi uang. Sebab, kalau kalian kejar uang, kalian tidak dapat ‘meaning’, dan akhirnya tak dapat uang juga. Kalau kalian kejar ‘meaning’, maka kalian akan mendapatkan position, dan tentu saja uang.”

Lantas apa itu meaning?
Meaning itulah yang sedang dikerjakan anak-anak perempuan tadi yang saya temui dalam tapping program televisi Mata Najwa edisi hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei beberapa hari ke depan, menjadi relawan dalam tim pemberantas illegal fishing.

Itu  pulalah yang dulu dilakukan oleh para mahasiswa kedokteran di Stovia  yang mendirikan Boedi Oetomo yang menandakan Kebangkitan Nasional  Indonesia. Bahkan, itu pula yang dijalankan oleh seorang insinyur  lulusan ITB yang merintis kemerdekaan Indonesia, Ir Soekarno. Itu pula  yang dilakukan para CEO terkemuka saat mereka muda.

Di seluruh dunia, para pemimpin itu lahir dari kegigihannya membangun meaning,  bukan mencari kerja biasa. Dalam kehidupan modern, itu pulalah jalan  yang ditempuh para miliarder dunia. Mereka bukanlah pengejar uang,  melainkan pengejar mimpi-mimpi indah, seperti yang diceritakan oleh  banyak eksekutif Jerman yang dulu menghabiskan waktu berbulan-bulan  kerja sosial di Afrika. “Tidak saya duga, apa yang saya lakukan 20 tahun  lalu itulah yang diperhatikan pemegang saham,” ujar mereka.

Saya  jadi ingat dengan beberapa orang yang mencari kerja di tempat saya,  baik di UI maupun di berbagai aktivitas saya. Ada yang benar-benar  realistis, datang dengan gagasan untuk membangun meaning, dan ada yang sudah tak sabaran mendapatkan gaji besar.

Kelompok  yang pertama, sekarang bisa saya sebutkan mereka berada di mana saja.  Sebagian sudah menjadi CEO, pemimpin pada berbagai organisasi, dan tentu  saja wirausaha yang hebat atau PhD lulusan universitas terkemuka.

Namun,  kelompok yang kedua, datang dengan tawaran yang tinggi. Ya, mereka  menilai diri jauh lebih tinggi dari kemampuan mereka. Tak jarang ada  yang diminta berhenti oleh keluarganya hanya beberapa bulan setelah  bekerja demi mencari pekerjaan yang gajinya lebih besar. Amatilah mereka  yang baru menikah. Kalau bukan pasangannya, bisa jadi orangtua atau  mertua ikut mengubah arah hidup dan mereka pun masuk dalam pusaran itu.

Padahal, semua orang tahu orang yang mengejar meaning  itu menjalankan sesuatu yang mereka cintai dan menimbulkan kebahagiaan.  Bahagia itu benih untuk meraih keberhasilan. Orang yang mengejar gaji  berpikir sebaliknya, kaya dulu, baru bahagia. Ini tumbuh subur kala  orang dituntut lingkungannya untuk mengonsumsi jauh lebih besar dari  pendapatan.

Sebaliknya, mereka yang membangun meaning, tahu persis, musuh utama mereka adalah konsumsi yang melebihi pendapatan.

Potret diri
Kalau  saya merefleksikan ke belakang tentang hal-hal yang saya jalani dalam  hidup saya, dapat saya katakan saya telah menjalani semua yang saya  sebutkan di atas. Sementara itu, teman-teman yang 30 tahun lalu  memamerkan kartu kreditnya (saat itu adalah hal baru  bagi bangsa ini), pekerjaan dengan gaji besar, jabatan dan seterusnya,  kini justru tengah mengalami masa-masa yang pahit.

Seorang  pengusaha besar mengatakan begini, “Uang itu memang tak punya mata,  tetapi mempunyai penciuman. Ia tak bisa dikejar, tetapi datang tiada  henti kepada mereka yang meaning-nya kuat.”

Di dinding perpustakaan kampus Harvard, saya sering tertegun membaca esai-esai singkat yang ditulis oleh para aplikan yang lolos seleksi. Tahukah Anda, mereka semua menceritakan perjalanan membangun meaning.  Maka, saya tak heran saat Madame Sofia Blake, istri Duta Besar Amerika  Serikat, di sini berkunjung ke Rumah Perubahan minggu lalu, ia pun  membahas hal yang sama untuk membantu 25 putra-putri terbaik Indonesia  agar bisa tembus diterima di kampus utama dunia.

Meaning  itu adalah cerita yang melekat pada diri seseorang, yang menciptakan  kepercayaan, reputasi, yang akhirnya itulah yang Anda sebut sebagai branding. Anda bisa mendapatkannya bukan melalui jalan pintas atau lewat jalur cara cepat kaya.

Meaning  itu dibangun dengan cara yang berbeda dari yang ditempuh pekerja biasa,  dari terobosan-terobosan baru. Kadang, dari bimbingan orang-orang besar  yang memberikan contoh dan mainan baru. Ya, contoh dan mainan itulah  yang perlu kita cari dan terobosan-terobosan yang kita lakukan kelak  memberikan jalan terbuka.

Selamat mencoba. Selamat hari  Kebangkitan Nasional. Jangan lupa pemuda yang dulu membangkitkan  kesadaran berbangsa di negeri ini adalah juga para pembangun meaning.

Prof Rhenald Kasali  adalah Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas  Indonesia. Pria bergelar PhD dari University of Illinois ini juga banyak  memiliki pengalaman dalam memimpin transformasi, di antaranya menjadi  pansel KPK sebanyak empat kali dan menjadi praktisi manajemen. Ia  mendirikan Rumah Perubahan, yang menjadi role model dari social business di kalangan para akademisi dan penggiat sosial yang didasari entrepreneurship dan kemandirian. Terakhir, buku yang ditulis berjudul Self Driving: Merubah Mental Passengers Menjadi Drivers.



Tidak ada komentar: